Selasa, 23 Oktober 2012

TINDAKAN HUKUM TERHADAP MAL PRAKTIK DOKTER


TINDAKAN HUKUM TERHADAP MAL PRAKTIK DOKTER
PENDAHULUAN
Bidang Etika keperawatan sudah menjadi tanggung jawab organisasi keprofesian untuk mengembangkan jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat diperoleh oleh tenaga keperawatan yang profesional. Dewasa ini perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat pesat menuju perkembangan keperawatan sebagai profesi. Proses ini merupakan suatu perubahan yang sangat mendasar dan konsepsional, yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek pelayanan atau aspek-aspek pendidikan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan keprofesian dalam keperawatan.
Malpraktek Medik merupakan kumpulan dari keputusan-keputusan hakim mengenai kasus-kasus hukum Kedokteran yang pernah diadili,dengan membaca keputusan-keputusan tersebut, maka kita akan memperoleh suatu gambaran yang lebih tegas dan lebih mendalam mengenai permasalahan apa saja yang banyak terjadi, permasalahan apa saja yang harus diperhatikan dan dijaga agar tidak terulang kembali dinegara kita. Bermanfaat pula untuk mengetahui apa hukumnya, ada dasar pertimbangan hakim, apa tolak ukurnya dengan demikian maka dapat kita ambil hikmah dan memetik pelajaran yang sangat berharga.
Perkembangan keperawatan menuju keperawatan profesional sebagai profesi di pengaruhi oleh berbagai perubahan, perubahan ini sebagai akibat tekanan globalisasi yang juga menyentuh perkembangan keperawatan professional antara lain adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan yang pada hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan keperawatan professional di Indonesia. Disamping itu dipicu juga adanya UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan UU No. 8 tahun 1999 tentang perkembangan konsumen sebagai akibat kondisi sosial ekonomi yang semakin baik, termasuk latar belakang pendidikan yang semakin tinggi yang berdampak pada tuntutan pelayanan keperawatan yang semakin berkualitas. Jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari tenaga keperawatan yang profesional. Dalam konsep profesi terkait erat dengan 3 nilai sosial yaitu:
1. Pengetahuan yang mendalam dan sistematis.
2. Ketrampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan yang lama dan teliti.
3. Pelayanan atau asuhan kepada yang memerlukan, berdasarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini yaitu “Etika Profesi”.
Namun demikian mungkin perlu ditegaskan bahwa suatu kasus hukum kedokteran mengandung banyak segi-segi berlainan sehingga dapat dikatakan bahwa kasusnya tidak ada yang “murni bedah” (informed content). Secara umum dapat dikatakan bahwa kasus hukum kedokteran selalu ada satu dengan yang lain sebagai contoh “kasus bedah” mungkin berkaitan dengan masalah informed Content sebaliknya dalam hal-hal yang menyangkut perluasan operasi, juga dengan standar profesi medik, dengan unsur kelalaian dsb. Demikian pula kasus informed sebaliknya juga bisa ada kaitannya dengan unsure gawat darurat, dengan masalah tindakan medik, rekaman medik, rahasia kedokteran dst.
Kini istilah kelalaian mulai dipopulerkan dalam kaitannya dengan bidang kedokteran. Demikian pula istilah malpraktik yang pada umumnya diartikan berkaitan dengan profesi kedokteran 9 medika praktik, bahkan ada kecenderungan untuk mengasosiasikan langsung dengan bidang kedokteran. Arti malpraktek telah berlaku pada profesi lainnya. Pada tahun 1981 di Indonesia timbul suatu cabang ilmu hukum baru yang menimbulkan reaksi baik dikalangan profesi kedokteran, maupun hukum dan teristimewa dalam masyarakat, sejak peristiwa tersebut maka bertemulah Thems dan Aesculapiu didalam suatu wadah baru dan bergabung menjadi suatu cabang baru dari disiplin hukum yaitu ”hukum kedokteran” dan ada juga yang menyebut “hukum kesehatan”.
DEFINISI MALPRAKTEK
Malpraktek mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Malpraktek juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada karena tidak memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus menceritakan secarajelas tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya yang diberikan.
Dalam memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan kepada konsumen secara lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun, penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena ketidaksamaan persepsi tentang malpraktek.
Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian (negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Menurut Hanafiah dan Amir (1999) kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang lakukan dengan sikap hati-hati dan wajar, atau sebaliknya melakukan sesuatu yang dengan sikap hati-hati, tetapi tidak dilakukannya dalam situasi tersebut.
Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan seseorang dengan hati-hati dalam keadaan tersebut.
Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa kelalaian lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, tetapi akibat, yang ditimbulkan bukanlah tujuannya.
Malpraktik tidak sama dengan kelalaian. Malpraktik. sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995).
Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya dapat bersifat perdata atau pidana.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya. (negligence); dan
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
MALPRAKTEK DALAM KEPERAWATAN
Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan kelalaian atau malpraktik. Malpraktik lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang, misalnya perawat, dokter, atau penasihat hukum.
Vestal, K.W. (l995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila pengguagat dapat menunujukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan segala ilmu fan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.
Hubungan perawat-klien menunjukkan, bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
b. Breach of the duty – Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya. Contoh pelanggaran yang terjadi terhadap pasien antara lain, kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
c. Injury – Seseorang mengalami cedera (injury) atau kemsakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum, misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Kelalalian nyeri, adanya penderitaan atau stres emosi dapat dipertimbangkan sebagai, akibat cedera jika terkait dengan cedera fisik.
d. Proximate caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terk dengan cedera yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung berhubungan. dengan pelanggaran kewajiban perawat terhadap pasien).
Sebagai penggugat, seseorang harus mampu menunjukkan bukti pada setiap elemen dari keempat elemen di atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi malpraktik dan perawat berada pada tuntutan malpraktik.
1. Bidang Pekerjaan Perawat Yang Berisiko Melakakan Kesalahan
Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Assessment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data atau informasi tentang pasien secara adekuat atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan, seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan berdampak pada ketidaktepatan diagnosis keperawatan dan lebih lanjut akan mengakibatkan kesalahan atau ketidaktepatan dalam tindakan. Untuk menghindari kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data dasar secara komprehensif dan mendasar.
b. Planning errors, termasuk hal-hal berikut :
1. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskannya dalam rencana keperawatan.
2. Kegagalan mengkomunikaskan secara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat, misalnya menggunakan bahasa dalam rencana keperawatan yang tidak dimahami perawat lain dengan pasti.
3. Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana keperawatan.
4. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien. Untuk mencegah kesalahan tersebut, jangan hanva menggunakan perkiraan dalam membuat rencana keperawatan tanpa mempertimbangkannya dengan baik. Seharusnya, dalam penulisan harus memakai pertimbangan yang jelas berdasarkan masalah pasien. Bila dianggap perlu, lakukan modifikasi rencana berdasarkan data baru yang terkumpul. Rencana harus realistis berdasarkan standar yang telah ditetapkan, termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien. Komunikasikan secara jelas baik secara lisan maupun dengan tulisan. Lakukan tindakan berdasarkan rencana dan lakukan secara hati-hati instruksi yang ada. Setiap pendapat perlu divalidasi dengan teliti.
c. Intervention errors, termasuk kegagalan menginteipretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat order/pesan dari dokter atau dari penyelia. Kesalahan pada tindakan keperawatan yang sering terjadi adalah kesalahan dalam membaca pesan/order, mengidentifikasi pasien sebelum dilakukan tindakan/prosedur, memberikan obat, dan terapi pembatasan (restrictive therapy). Dari seluruh kegiatan ini yang paling berbahaya tampaknya pada tindakan pemberian obat. Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi yang baik di antara anggota tim kesehatan maupun terhadap pasien dan keluarganya.
Untuk menghindari kesalahan ini,, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan program pendidikan berkelanjutan (Continuing Nursing Education).
2. Beberapa Contoh Kesalahan Perawat
a. Pasien usia lanjut mengalami disorientasi pada saat berada di ruang perawatan. Perawat tidak membuat rencana keperawatan guna memantau dan mempertahankan keamanan pasien dengan memasang penghalang tempat tidur. Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur pada waktu malam hari dan pasien mengalami patah tulang tungkai
b. Pada pasien pascabedah disarankan untuk melakukan ambulasi. Perawat secara drastis menganjurkan pasien melakukan mobilisasi berjalan, padahal di saat itu pasien. mengalami demam, denyut nadi cepat, dan mengeluli nyeri abdomen. Perawat melakukan ambulasi pada pasien sesuai dengan rencana keperawafan yang telah dibuat tanpa mengkaji terlebih dahulu kondisi pasien. Pasien kemudian bangun dan berjalan, pasien mengeluh pusing dan jatuh sehingga mengalami trauma kepala.
3. Beberapa Permasalahan Yang Dihadapi Oleh Profesi Keperawatan Di Indonesia
Wawasan ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu yang mempelajari bentuk dan sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia melalui pengkajian mendasar tentang hal-hal yang melatarbelakanginya, serta mempelajari berbagai bentuk upaya untuk mencapai kebutuhan dasar tersebut melalui pemanfaatan semua sumber yang ada dan potensial. Bidang garapan dan fenomena yang menjadi objek studi ilmu keperawatan adalah penyimpangan atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosio-spiritual). Oleh karena objeknya adalah manusia dalam segala tingkatannya, dan manusia adalah makhluk hidup yang sampai saat ini, belum semua aspeknya terungkap melalui ilmu pengetahuan, berarti pula perawat senantiasa dihadapkan pada kondisi pekerjaan yang penuh dengan risiko. Oleh karenanya, perawat dituntut pada tingkat kemampuan profesional agar ia mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan.
Hal ini bermakna bahwa pelayanan keperawatan yang profesional hanya dapat. dimungkinkan bila tenaga keperawatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan keperawatan. Tenaga keperawatan yang profesional ditandai dengan pengetahuan yang mendalam dan sistematis, keterampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan lama dan teliti, serta pelayanan/asuhan pada yang memerlukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan teknis tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini, yaitu etika profesi. Di Indonesia, kategori pendidikan yang menghasilkan tenaga keperawatan profesional diperoleh dan jenjang pendidikan tinggi yang ada saat ini yaitu Akademi Keperawatan (jenjang Diploma III) dan program pendidikan sarjana keperawatan/Ners.
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara jelas terhadap tenaga keperawatan sebagai tenaga profesional sebagaimana pada Pasal 32 ayat (4), Pasal 53 ayat (I j dan ayat (2)). Selanjutnya, pada ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Banyak kasus yang terlanjur diajukan ke pengadilan sebelum ditangani oleh organisasi profesi, misalnya Majelis Kode Etik Keperawatan, yang terkadang bukan merupakan. pelanggaran hukum (perdata/pidana), tetapi hanya merupakan pelanggaran etik profesi semata, sebagaimana yang telah diatur dalam AD/ART PPNI (Majelis Kode Etik Keperawatan tingkat Pusat baru dibentuk pada tanggal 26 Januari 2002)
Sebagai suatu profesi, PPNI memiliki kode etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun dalam MUNAS PPNI. Berdasarkan keputusan MUNAS VI PPNI No. 09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik Keperawatan Indonesia.
Sanksi administratif atau tindakan disiplin kepada tenaga kesehatan, terrnasuk tenaga keperawatan, karena dianggap melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi dan memberikan pelayanan kesehatan diberikan oleh pejabat yang berwewenang (organisasi di tempat tenaga keperawatan tersebut bekerja) atas dasar pertimbangan yang diajukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK). Majelis ini dibentuk dengan Kepres No. 56 Tahun 1995, yang terdiri dari MDTK tingkat pusat dan MDTK tingkat provinsi.
PPNI, terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum berperan sebagaimana layaknya organisasi profesi. Keberadaan PPNI di daerah tidak dirasakan sebagai suatu kebutuhan dalam mempertahankan kemampuan profesional anggotanya. Hal ini terkadang dipertanyakan oleh para anggotanya. PPNI yang ada di daerah hanya sekadar memenuhi AD/ART PPNI, tetapi kegiatan yang mengarah pada pembinaan anggota kurang mendapat perhatian. Tanpa pembinaan, akan sangat beresiko melakukan malpraktik. Demikian pula dengan terjadi kasus yang dianggap pelajaran yang berlalu begitu saja tanpa turun tangan dari pihak organisasi PPNI, yang terkadang kasusnya menyeret tenaga keperawatan untuk berhubungan dengan polisi/jaksa/pengadilan.
Dalam suatu pemeriksaaan perkara pidana diperlukan keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan guna membuat terang suatu perkara.
MALPRAKTEK SERTA GUGATANNYA
a. Malpraktik Medik
Istilah malpraktik adalah istilah yang umum, tentang kesalahan yang dilakukan oleh profesional dalam menjalankan profesinya. Namun akhir-akhir ini, kalau dibicarakan mengenai malpraktik, pasti yang dibicarakan adalah tentang kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh TK terhadap pasien. Malpraktik yang dilakukan oleh TK, dikenal sebagai malpraktik medik (medical malpractice).
Seorang advokat pun dapat melakukan malpraktik, bahkan ekstrimnya, seorang imam pun dapat melakukan malpraktik, karena advokat dan imam, dalam melakukan pekerjaannya dapat digolongkan sebagai profesional.
Pengertian malpraktik secara umum di atas menyebutkan adanya kesembronoan (professional misconduct) atau ketidakcakapan yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill) yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikkan pada setipa situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata.
Malpraktik medik dalam proses pengadilan memerlukan penentuan tentang kelalaian dalam teori pertanggungjawaban hukum. Kemudian pertanggungjawaban hukum selalu menuntut dipenuhinya unsur-unsur dari perbuatan melanggar hukum, yang dimulai dengan adanya kewajiban dokter terhadap pasien di dalam hubungan dokter-pasien; adanya cedera yang dapat dimintakan ganti ruginya; adanya hubungan kausal antara pelanggaran terhadap standar pelayanan dan kerugian yang dituntut.
Dimaksudkan dengan maltreatment adalah pemberian pelayanan pengobatan dan perawatan yang tidak pantas atau yang tidak dilakukan dengan keterampilan. Hal ini dapat saja dilakukan karena kesembronoan, kelalaian atau kesengajaan.
Ukuran dari terjadinya professional misconduct atau unreasonable lack of skill tersebut di atas, adalah yang dikenal dengan ukuran (standar) profesi. Pengertian tentang standard of care, menyebutkan adanya derajat pemeliharaan dari orang yang hati-hati akan diberikan dalam situasi dan konsisi yang sama. Apabila profesional memberikan pelayanan di bawah standar, maka profesional harus memberikan ganti rugi atas cedera yang diakibatkannya. Selain itu para profesional juga dituntut untuk memenuhi ukuran keterampilan rata-rata sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang umum.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan umum yang memberikan pengertian dari malpraktik medik, yakni apabila seorang dokter tidak dapat menyembuhkan pasien sebagai perbuatan malpraktik. Bahkan lebih parah lagi, apabila seorang pasien meninggal dunia, di dalam proses pengobatan di rumah sakit, maka telah terjadi malpraktik medik. Jelas di dalam malpraktik terdapat unsur yang sangat penting adalah adanya kelalaian (negligence), yang seringkali pula disalahartikan.
Jelas untuk dapat menentukan adanya malpraktik medik yang menimbulkan tanggungjawab medik, maka unsur utamanya adalah adanya kelalaian (negligent). Kelalaian dalam arti yang umum adalah adanya kekurang hati-hatian yang dilakukan dalam situasi dan kondisi yang sama. Apabila pasien tidak dapat menentukan kekurang hatian-hatian yang bagaimana yang dilakukan oleh TK, maka tidak ada kasus.
Pengertian kelalaian seperti yang dikutip dari Blacks Law Dictionary, secara panjang
lebar merumuskan apa yang dimaksudkan dengan kelalaian secara umum. Terdapat masih sangat banyak pengertian khusus mengenai kelalaian dikaikan dengan bidangnya masing-masing.
b. Ganti Rugi Akibat Malpraktik Secara Umum
Dalam melaksanakan pengabdiannya, tidak selamanya RS dapat memberikan hasil sebagaimana diharapkan semua pihak. Adakalanya layanan tersebut justru menimbulkan malapetaka; seperti cacat seumur hidup, lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia. Namun RS tidak perlu merasa khawatir sebab sepanjang yang dilakukannya sudah benar (sesuai standar yang berlaku) maka adverse events yang terjadi hanya bisa dianggap sebagai bagian dari risiko medik atau sebagai sesuatu yang tak mungkin dihindari, sehingga RS tidak seharusnya bertanggunggugat atas kerugian yang dialami pasien, materiel maupun immateriel. Lain halnya apabila adverse events terjadi karena error yang benar-benar dapat dikaitkan dengan malpraktik; baik yang bersifat kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence).
Ganti rugi oleh UU Kesehatan, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas sesuatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non-fisik. Kerugian fisik adalah kerugian karena hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, yang dalam bahasa hukum disebut kerugian materiel. Sedangkan kerugian non-fisik adalah kerugian yang berkaitan dengan martabat seseorang, yang dalam bahasa hukumnya disebut kerugian immateriel.
Jenis tanggunggugat menurut hukum perdata antara lain:
a. Contractual liability
Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual.
Dalam kaitannya dengan hubungan terapetik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Karena itu dokter hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan sebagai civil malpractice.
b. Liability in tort
Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum. Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang berlawanan dengan kesusilaan yang baik dan berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain.
Konsep liability in tort ini sebetulnya berasal dari Napoleontic Civil Code Art.1382. Konsep ini sejalan dengan pasal 1365 KUH Perdata yang bunyi lengkapnya: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Dengan adanya tanggung gugat ini maka RS atau dokter dapat digugat membayar ganti rugi atas terjadinya kesalahan yang termasuk katagori tort; baik yang bersifat intensiona atau negligence. Contoh dari tindakan RS atau dokter yang dapat menimbulkan tanggunggugat antara lain membocorkan rahasia kedokteran, eutanasia atau ceroboh dalam melakukan upaya medik sehingga pasien meninggal dunia atau menderita cacat.
c. Strict liability
Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability without fault) mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness ataupun negligence. Tanggung gugat seperti ini biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut.
Di negara-negara Common Law, produk darah dikatagorikan sebagai product sold sehingga produsen yang mengolah darah harus bertanggunggugat untuk setiap transfusi darah olahannya yang menularkan virus hepatitis atau HIV.
d. Vicarious liability
Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka RS (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai subordinate (employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending physician) sehingga kedudukannya setingkat dengan RS.
Doktrin vicarious liability ini sejalan dengan Psl 1367, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
c. Gugatan Malpraktik Medik
Sebelumnya telah diuraian tentang malpraktik medik dan unsur utama dari pertanggungjawaban medik, perlu adanya penentuan tentang adanya kelalaian. Kemudian kalau pasien dapat menentukan adanya kelalaian, maka untuk dapat mengajukan gugatan jelas harus ada dasar hukumnya, yang dijadikan sebagai dasar gugatan. Hukum Perdata Indonesia, masih tetap memakai Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) sebagai hukum positif.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang gugatan, maka perlu pula digambarkan tentang hubungan hukum yang melahirkan perikatan. Terdapat dua macam perikatan menurut Pasal 1233 KUHPer, yaitu “perikatan yang lahir dari perjanjian” dan “perikatan yang lahir dari undang-undang”.
Kemudian mengenai jenis perikatan yang relevan untuk digambarkan, tidak diatur oleh Undang-undang, namun dikemukakan oleh para pakar ilmu hukum Belanda, diakui sebagai doktrin hukum, tentang dua macam perikatan dilihat dari prestasi yang harus diberikan, yaitu “perikatan ikhtiar” dan “perikatan hasil”.
Hubungan TK dan pasien, pada dasarnya memberikan prestasi berupa ikhtiar, yaitu upaya semaksimal mungkin, hanya beberapa perikatan yang timbul mendasarkan prestasi hasil, sebagai misal bedah kosmetik, tentunya harus mendasarkan kepada hasil yang dijanjikan, lain lagi dalam hal bedah rekonstruksi, maka hasilnya juga berupaya semaksimal mungkin.
Seperti dituliskan di atas, bahwa malpraktik medik mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan, sehingga gugatan juga mensyaratkan adanya kelalaian/kesalahan. Tujuan dari gugatan adalah untuk mendapatkan ganti rugi, sehingga dasar gugatan dapat dilakukan dengan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Jelas untuk menggugat berdasarkan wanprestasi, pertama-tama hanya dapat dilakukan apabila ada perjanjian, kemudian hasilnya harus tertentu. Sedangkan seperti dituliskan di atas, menurut doktrin hukum perikatan, perikatan yang timbul hampir kebanyakan adalah perikatan ikhtiar, yakdi prestasinya berupa “upaya semaksimal mungkin”, bukan “hasil tertentu”.
Perbedaan antara perikatan ikhtiar dan perikatan hasil adalah pada perikatan ikhtiar prestasinya berupa ikhtiar (upaya semaksimal mungkin), sulit untuk ditentukan ukurannya, sedangkan pada periktan hasil, prestasinya berupa hasil tertentu yang dapat diukur.
Akibatnya, pada perjanjian antara TK dan pasien yang jadi dasar dari perikatan ikhtiar, maka prestasinya sulit untuk diukur, kalau pretasinya sulit diukur, maka sulit untuk menggugat TK dengan dasar wanprestasi (ingkar janji), kalau TK telah cukup berikhtiar, maka telah dipenuhi prestasi yang diperjanjikan.
Dengan perkataan lain, meski pun ada perjanjian atau tidak ada perjanjian antara TK dan pasien, maka dasar hukum dari gugatan terhadap TK adalah apa yang dikenal dengan perbuatan melanggar hukum (PMH) yang diatur di dalam pasal 1365 KUHPer. Pasal 1365 KUHPerdt: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salah menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Unsur-unsur dari ketentuan yang ada di dalam pasal 1365 KUHPer, adalah: ada perbuatan melanggar hukum, ada kesalahan, ada kerugian, ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian.
Sedangkan yang dimaksud dengan PMH menurut pasal 1365 KUHPer adalah:
1. adanya perbuatan yang melanggar undang-undang, ketertiban dan kesusilaan
2. adanya perbuatan yang melanggar hak orang lain
3. adanya perbuatan yang tidak memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi.
Kemudian yang dimaksudkan dengan kesalahan (schuld), diartikan adanya unsur kesengajaan. Dengan sengaja merugikan orang lain. Kemudian pasal 1366 KUHPer menentukan: “Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebebkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Ketentuan pasal 1365 KUHPer menyebutkan adanya kesalahan (schuld), sedangkan pasal 1366 KUHPer menentikan adanya kelalaian (nalatigheid). Jadi, apakah perbuatan itu disengaja, atau pun karena kalalaian/kurang hati-hati, asalkan menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ganti rugi.
Dengan perkataan lain:
1. Apabila terjadi kesalahan/kelalaian, namun tidak menimbulkan kerugian, tidak dapat digugat ganti rugi
2. Begitu pula apabila terdapat kerugian, namun tidak terdapat kesalahan/kelalaian, maka tidak dapat digugat ganti rugi
3. Di samping itu, ada kerugian, ada kesalahan/kelalaian, naumn tidak ada hubungan sebab akibat, maka itu pun tidakn dpat digugat ganti rugi
4. Keempat unsur dari PMH harus dipenuhi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan, untuk menggugat TK, pasien harus dapat menentukan kelalaian TK yang mana, kemudian apakah kerugian yang diderita pasien, betul disebebkan oleh kelaian TK. Dengan perkataan lain, apakah kelalaian TK menyebabkan kerugian yang diderita pasien.
d. Tuntutan Malpraktik Medik
Pidana secara harfiah artinya hukuman (straf), Hukum pidana artinya Hukum tentang hukuman. Sistem Hukum Pidana membagi dua macam perbuatan yang dapat dipidana, yaitu pelanggaran dan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dituntut dengan pidana (hukuman), apabila memenuhi unsur-unsur yang ditentukan oleh Hukum Pidana.
Kemudian di dalam hukum pidana sebuah asas yang ditetapkan di dalam KUHP adalah sangat penting, yaitu asas “nullum delictum poena sina sanctie”. Artinya tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Jadi menurut asas ini, kalau tidak diatur telah melanggar ketentuan hukum, maka perbuatan itu tidak dapat dihukum, meski pun akibat perbuatan itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Seharusnya dalam tindakan medik, perbuatan TK yang dapat dipidana, adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian berupa catat badan yang permanen atau kematian. Apabila kerugian itu dapat diperbaiki, dalam arti tidak menimbulkan bekas, maka TK tidak dapat dituntut pidana. Perasaan tidak menyenangkan, penderitaan, tidak sembuh dan banyak lainnya, bukan dasar untuk memidanakan TK. Namun di Indonesia hal ini menjadi kabur, karena itu dijadikan dasar pengaduan pasien. Terutama “tidak sembuh” tidak dapat dijadikan dasar tuntutan, karena prestasi TK adalah berupaya semaksimal mungkin, dan faktor kesembuhan pasien, bukan hanya karena faktor TK. Dasar tuntutan terhadap TK harus jelas, luka berat yang mengakibatkan cacat dan kematian saja yang pantas untuk dihukum, selama masih terjadi pemulihan, maka TK tidak dapat dituntut.
MALPRAKTEK DAN TANGGUNG JAWABNYA
Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh dunia perumahsakitan di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktik (dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler), utamanya sejak diberlakukannya UU no.8/1999 tentang perlindungan konsumen. Sebelumnya, RS dianggap sebagai lembaga sosial kebal hukum berdasarkan doctrine of charitable immunity, sebab pertimbangannya, menghukum RS membayar gantirugi sama artinya dengan mengurangi assetnya, yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuannya untuk menolong masyarakat banyak.
Perubahan paradigma tersebut terjadi sejak kasus Darling vs Charleston Community Memorial Hospital (1965), yakni kasus mula pertama yang mempersamakan institusi RS sebagai person (subjek hukum) sehingga oleh karenanya dapat dijadikan target gugatan atas kinerjanya yang merugikan pasien. Pertimbangannya antara lain karena banyak RS mulai melupakan fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri dengan manajemen modern, lengkap dengan manajemen risiko. Dan dengan manajemen risiko tersebut maka sudah seharusnya apabila RS mulai menempatkan gugatan ganti rugi sebagai salah satu bentuk risiko bisnisnya serta memperhitungkannya untuk dipikul sendiri risiko itu ataukah akan dialihkan kepada perusahaan asuransimelalui program asuransi malpraktik.
Situasi krisis yang mencemaskan tersebut jelas tidak menguntungkan bagi pengelolaan dan pengembangan RS dan oleh karenanya perlu diwaspadai. Tetapi yang paling penting bagi setiap pengelola dan pemilik RS adalah memahami lebih dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktik dapat dibuktikan maka setiap sengketa yang muncul antara health care receiver dan health care provider baru boleh disebut sebagai konflik akibat adanya ketidaksesuaian logika atas sesuatu masalah; utamanya atas terjadinya adverse event (injury caused by medical management rather than the underlying condition of the patient). Konflik diartikan sebagai ketidaksesuaian paham atas situasi tentang pokok-pokok pikiran tertentu atau karena adanya antagonisme-antagonisme emosional. Maka berbagai konflik yang melanda dunia perumahsakitan kita sekarang ini tidak harus dipandang sebagai hal yang luar biasa sehingga tidak perlu disikapi secara tidak proporsional. Dilihat dari sisi positifnya justru konflik atau sengketa dapat meningkatkan kreatifitas, inovasi, intensitas upaya, kohesi kelompok serta mengurangi ketegangan.
Dunia perumahsakitan juga harus merasa risih dan bersikap jujur karena pada kenyataannya masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam melaksanakan tatakelola klinik yang baik (good clinical governance), disamping belum secara sempurna mampu memenuhi prinsip-prinsip dalam merancang sistem pelayanan kesehatan yang lebih aman (safer health care system) guna mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi terjadinya adverse events.
Konflik itu sendiri sebetulnya hanya akan terjadi kalau ada prakondisi atau predisposing factor, misalnya berupa adverse events (yang pada hakekatnya merupakan kesenjangan antara harapan pasien ketika memilih RS dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya upaya medis). Sedangkan trigger factors-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi, komunikasi ambigius atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter sendiri (arogan, ketus, enggan memberikan informasi dan sebagainya) atau dari pihak pasien (misalnya chronic complainer atau sikap temperamental). Tarif yang tinggi juga dapat menjadi pemicu munculnya klaim atas pelayanan yang kurang sempurna. Dari pengalaman saya sebagai kosultan di salah satu RS swasta diperoleh temuan bahwa tidak jarang pemicunya justru datang dari penilaian spekulatif yang bersifat negatip atas terjadinya adverse events dari teman sejawat dokter (yang barangkali saja ingin mengambil keuntungan, misalnya agar oleh pasien dianggap lebih hebat atau lebih pandai).
Mengenai perbedaan persepsi, biasanya disebabkan keidakmampuan pihak pasien untuk memahami logika medis bahwa upaya medis merupakan upaya yang penuh uncertainty dan hasilnya pun tidak dapat diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar kontrol dokter untuk mengendalikannya; misalnya daya tahan tubuh, mekanisme pertahanan tubuh, jenis dan tingkat virulensi penyakit, stadium penyakit, kualitas obat, respon individual terhadap obat (sebagai sebagai konsekuensi belum ditemukannya obat-obatan farmakogenomik yang sesuai dengan konstitusi genetik tiap-tiap pasien) serta kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasehat dokter serta perawat. Banyak masyarakat menyangka bahwa upaya medis yang dilakukan dokter merupakan satu-satunya variabel yang dapat mempengaruhi kondisi kesakitan pasien sehingga parameternya, kalau upaya tersebut sudah benar menurut logika mereka tidak seharusnya pasien meninggal dunia, bertambah buruk kondisinya atau malahan muncul problem-problem baru. Pada kenyataannya upaya medis yang terbaik dan termahal sekalipun belum tentu dapat menjamin kesembuhan, demikian pula sebaliknya. Bahkan tidak jarang dokter melakukan kesalahan diagnosis dan dengan sendirinya diikuti kesalahan terapi, tetapi justru pasien dapat sembuh berkat mekanisme pertahanan tubuhnya sendiri. Oleh sebab itu tidaklah salah jika ada sementara ahli yang menyatakan “medicine is a science of the uncertainty, an art of the probability”.
Pemahaman yang kurang memadai tentang hakekat upaya medis tersebut masih diperparah lagi oleh minimnya pemahaman mengenai hukum; misalnya tentang bentuk perikatan yang terjadi menyusul disepakatinya hubungan terapetik yang konsekuensinya memunculkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Tidak banyak masyarakat yang faham bahwa perikatan yang terjadi antara health care receiver dan health care provider merupakan inspanning-verbintenis (perikatan upaya) sehingga konsekuensi hukumnya, RS tidak dibebani kewajiban untuk mewujudkan hasil (berupa kesembuhan), melainkan hanya dibebani kewajiban melakukan upaya sesuai standar (standard of care); yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang mencerminkan telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan dan perhatian yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Dengan tingkat kualitas seperti itu diharapkan mampu menyelesaikan problem kesehatan pasien, namun jika pada kenyataannya harapan tersebut tidak terwujud atau bahkan terjadi adverse events atau risiko medis, tidak serta merta dokter atau RS harus dipersalahkan.
Apabila terbukti bersalah maka tanggungjawab hukumnya selalu bersifat individual dan personal sehingga tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Perlu ditambahkan disini bahwa di berbagai negara yang menganut Common Law System pada awalnya memasukkan malpraktik sebagai tortsehingga tidak ada pidana bagi dokter yang melakukan malpraktik melainkan gugatan ganti rugi. Namun kecenderungan internasional akhir-akhir ini mulai ada upaya-upaya walaupun kasusnya masih sangat jarang untuk mempidanakan dokter, utamanya atas kasus malpraktik yang mengakibatkan kematian. Kecenderungan tersebut tentunya dapat menambah keyakinan LSM disini yang selama ini lebih suka membawa kasus malpraktik ke peradilan pidana, apalagi tindakan seperti itu dimungkinkan mengingat adanya Psl 359 KUHP yang merupakan pasal keranjang sampah.
Sedangkan dalam kasus perdata, yang harus membuktikan adalah pihak penggugat (pasien) mengingat “siapa yang mendalilkan bahwa dokter bersalah maka dialah yang membuktikan”. Untuk itu penggugat harus membuktikan adanya keempat unsur D dari malpraktik; yaitu (D)uty, (D)ereliction of duty, (D)amages dan (D)irect causation betweem dereliction of duty and damages. Tentunya yang paling sulit bagi penggugat ialah membuktikan unsur D yang terakhir (Direct causation), namun pembuktian unsur itu beserta 3 unsur lainnya dari malpraktik menjadi tidak diperlukan lagi manakala ditemukan fakta yang mampu berbicara sendiri (misalnya ditemukannya gunting atau pinset di dalam perut pasien) sehingga dapat diberlakukan doktrin Res Ipsa Loquitur (the thing speaks for itself) yang secara otomatis membuktikan adanya malpraktik. Adapun mengenai tanggunggugatnya (civil liability) dapat ditanggung sendiri oleh dokter yang bersangkutan atau dalam kondisi tertentu dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan ajaran tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).
Contoh kasus paling gamblang yang menggambarkan kekurangcermatan pihak pasien dalam menuntut dan menggugat adalah kasus dilaporkannya dokter ke polisi disertai pengajuan gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang ditolong kelahirannya dengan vacuum extractie menderita komplikasi kelumpuhan otot leher. Juga kasus dilaporkannya dokter ke polisi karena terjadinya Steven Johnson syndrome akibat obat (yang seringkali mustahil dapat diramalkan sebelumnya). Betul pada kedua kasus itu ada damage, tetapi persoalannya, adakah unsur dereliction of duty yang secara langsung telah mengakibatkan damage tersebut? Dari penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine diperoleh gambaran bahwa sekitar 2,9 % sampai 3,7 % dari pasien rawat inap mengalami adverse event, berupa:
- Perpanjangan hospitalisasi
- Cacat saat meninggalkan RS
- Cacat tetap
- Adverse drug event
- Infeksi luka
- Meninggal dunia
Sekitar 70 % dari adverse event tersebut di atas disebabkan oleh error (diagnostic, treatment, preventive and others) yang dapat dicegah sehingga disebut preventable adverse event dan hanya sekitar 27,6 % dari preventable adverse event yang dapat dikatagorikan sebagai malpraktik (negligence atau culpa). Jadi kalau dihitung-hitung sebenarnya sangat kecil sekali bagian dari adverse event yang dapat dihubungkan dengan malpraktik, sedangkan selebihnya merupakan adverse event yang tidak termasuk pelanggaran hukum; baik yang bersifat error of commission (melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan) maupun error of omission (tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan).
Agaknya apa yang diuraikan di atas sejalan dengan teori Perrow (the Perrow’s Normal Accident Theory) yang menyatakan bahwa:
1. Dalam sistem tertentu, kecelakaan tidak dapat dihindari sama sekali.
2. Dalam industri yang komplek dan berteknologi tinggi maka kecelakaan merupakan hal yang normal.
Perlu disadari bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di RS merupakan pekerjaan yang sulit, rumit dan komplek serta memerlukan bantuan teknologi (metode, alat dan obat-obatan).Maka dalam kaitannya dengan upaya keselamatan pasien, The National Patient Safety Foundation menyimpulkan bahwa:
1. Keselamatan pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari dan mencegah adverse event (adverse outcome) yang disebabkan oleh proses layanan serta meningkatkan mutu outcome.
2. Keselamatan pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person), peralatan atau departemen saja, tetapi juga interaksi dari berbagai komponen dan sistem.
HUKUM MALPRAKTEK
1. Hukum Di Indonesia Mengenai Malpraktek
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.
Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice.
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yaitu :
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana,yaitu :
1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP). Kecerobohan (reklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. Atau kealpaan (negligence) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggungjawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada badan yang memberikan sarana pelayananjasa tempatnya bernaung.
b. Civil malpractice
Seorang tenaga jasa akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga jasa yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Pertanggungjawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle ofvicarius liability. Dengan prinsip ini maka badan yang menyediakan sarana jasa dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya selama orang tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative malpractice
Tenaga jasa dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala orang tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kena, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
MALPRAKTEK YANG SERING DILAKUKAN OLEH TIM KESEHATAN
Tuntutan Malpraktek dapat bersifat pelanggaran – pelanggaran berikut :
a. Pelanggaran Etika Profesi
Pelanggaran ini sepenuhnya tanggung jawab organisasi profesi (Majelis Kode etik Keperawatan) sebagaimana tercantum pada pasal 26 dan 27 anggaran dasar PPNI. Sebagaimana halnya dokter, perawatpun merupakan tenaga kesehatan profesional yang menghadapi banyak masalah moral atau etik sepanjang melaksanakan praktik profesional.
b. Sanksi Administrasi
Berdasarkan Keppres No. 56 tahun 1995 dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan obyektif kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima kesehatan. Tindakan sebagaimana yang dimaksud tidak mengurangi ketentuan pada Pasal 54 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan , yaitu berbunyi sebagai berikut :
1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplai Tenaga Kesehatan.
c. Pelanggaran Hukum
Pelanggaran dapat bersifat perdata atau pidana. Pelanggaran yang bersifat perdata sebagaimana yang tertera pada UU No. 23 tahun 1992 pada Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
2. Ganti rugi sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesaui dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Hal yang berhubungan dengan ganti rugi dapat bersifat negoisasi atau diselesaikan melalui peradilan, pelanggaran yang bersifat pidana sebagaimana disebutkan dalam UU No. 23 tahun 1992 pada Bab X (Ketentuan Pidana) berupa pidana penjara atau pidana denda, atau sebagaimana pada pasal 61 dan 62 UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi sebagai berikut :
1. Pasal 61 : penentuan pidana dapat di lakukan terhadap pelaku usaha atau pengurusnya
2. Pasal 62 : 1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebgaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 di pidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, pasal 12, pasal 13, ayat (1) huruf d dan huruf f di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
F. Penanganan Tindakan Malpraktek
1. Cara Hukum Kesehatan Mengatasi Tindakan Malpraktek
Sehubungan gugatan/tuntutan ada di bidang hukum, maka penulisan ini hanya hal-hal yang menyengkut tentang hukum. Seringkali, TK karena rutinitas menjalankan pekerjaan, yang menjadi pekerjaan yang diulang-ulang, menjadi kurang hati-hati. Kekurang hati-hatian ini, dapat berakibat fatal, karena kelalaian kecil saja dapat berakibat besar.
TK dapat menggunakan beberapa ketentuan dari lembaga hukum yang dapat membantu TK dalam mengurangi kemungkinan digugat/dituntut oleh pasien. Kemudian di luar dari itu terdapat beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh TK.
a. Pemerintah melalui Permenkes no. 585/1989 telah menetapkan aturan tentang persetujuan tindakan medik dan di dalam UU No. 29/2004 tentang praktik kedokteran, juga diatur beberapa ketentuan tentang persetujuan tindakan medik. TK harus menggunakan lembaga informed consent secara maksimal, pasien diberi informasi yang benar dan adekuat, kemudian pasien dalam memberikan persetujuan setelah benar-benar mengerti informasi yang diterima. Pekerjaan ini sangat membosankan, namun ini adalah salah satu cara untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Masalah yang timbul adalah kalau informasi terlalu banyak menyebabkan pasien menjadi takut, ini bukan menjadi masalah TK, untuk menghindari kemungkinan salah paham.
b. Selain informed consent, yang perlu dipenuhi dan menjadi keharusan pula untuk mencatat dengan benar dan rinci seluruh proses tindakan medik di dalam rekam medik dan berkas pemerikasaan penunjang pasien dikumpulkan dengan baik, sehingga pada waktunya apabila ada gugatan/tuntutan dari pasien, maka berkas rekam medik dapat digunakan sebagai alat bukti yang berisi proses tindakan medik.
c. TK harus bekerja sesuai dengan standar profesi medik, bertindak teliti dan hati-hati. Kemudian selalu menambah pengetahuan baik secara formal mau pun informal.
d. Selain itu, perlu menghargai hak-hak pasien yang lainnya selain informasi, persetujuan, dan rekam medik, yaitu rahasia kedokteran dan mendapatkan second opinion.
e. Hal lain yang perlu pula disiapkan oleh TK, adalah mengerti dan mengetahui tentang hukum pada umumnya, khususnya tentang hukum kesehatan. Mempelajari hukum secara formal tentunya paling baik, namun secara informal pun cukup. Buta sama sekali terhadap hukum, sangat tidak bijaksana.
f. Akhirnya, kalau menghadap gugatan/tuntutan hukum, jangan bertindak sendiri, perlu kebijaksaaan dalam memilih siapa yang jadi pembela. Gugatan/tuntutan tidaklah mungkin dihadapi TK tanpa bantuan pihak yang mengerti hukum.
2. Cara Tim Kesehatan Dalam Mengatasi Malpraktek
Vestal, K.W (1995) memberikan pedoman guna mencegah terjadinya malpraktek. Pedoman-pedoman tersebut adalah :
1. Memberikan kasih sayang pada pasien sebagaimana kita mengasihi diri sendiri, melayani pasien dan keluarganya dengan jujur, penuh rasa hormat.
2. Menggunakan pengetahuan keperawatan untuk menetapkan diagnosa yang tepat dan melaksanakan intervensi keperawatan yang diperlukan. Perawat mempunyai kewajiban untuk menyusun pengkajian dan melaksanakan dengan benar.
3. Mengutamakan kepentingan pasien. Jika tim kesehatan lainnya ragu-ragu tentang tindakan yang akan di lakukan atau kurang merespon perubahan kondisi pasien, didiskusikan bersama tim kesehatan atau keperawatan, guna memberikan masukan yang diperlukan bagi tim kesehatan lainnya.
4. Menanyakan saran atau pesan yang diberikan oleh dokter jika perintah tidak jelas, masalah itu dipertanyakan oleh pasien atau pasien menolak tindakan yang meragukan atau tidak tepat sehubungan dengan perubahan pada kondisi kesehatan pasien, menerima perintah dengan jelas dan tertulis.
5. Meningkatkan kemampuan kita secara terus-menerus sehingga pengetahuan atau kemampuan yang dimiliki senantiasa Up-To-Date. Mengikuti perkembangan terbaru yang terjadi di lapangan dan bekerja berdasarkan pedoman yang berlaku.
6. Tidak melakukan tindakan yang belum kita kuasai.
7. Melaksanakan askep berdasarkan model proses keperawatan. Menghindari kekurang hati-hatian dalam memberikan askep.
8. Mencatat rencana keperawatan dan respons pasien selama dalam askep. Menyatakan secara jelas dan lengkap. Mencatat sesegera mungkin fakta yang kita observasi secara jelas.
9. Melakukan konsultasi dengan anggota tim lainnya. Membiasakan bekerja berdasarkan kebijakan organisasi atau rumah sakit dan prosedur tindakan yang berlaku.
10. Pelimpahan tugas secara bijaksana dan menerima atau meminta orang lain menerima tanggungjawab yang tidak dapat kita tangani.
Dasar Hukum Penuntutan Ganti Rugi malpraktek
·                     Pasal 55 Undang-Undang no 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (1)
·                                                                     Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
·                     Pasal 1365 KUH perdata
·                                                                     Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
·                     Pasal 1366 KUH perdata
·                                                                     Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.
·                     Pasal 1367 KUH perdata
·                                                                     Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
·                     Pasal 7 Undang-Undang no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
·                     Pasal 1370 KUH perdata
·                                                                     Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang, maka suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.
·                     Pasal 1371 KUH perdata
·                                                                     Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya kesembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.
·                     Pasal 1372 KUH perdata
·                                                                     Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.

Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu:
·                     Pasal 359 KUHP
·                                                                     Barang siapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
·                     Pasal 360 KUHP
1.                   Barang siapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
2.                   Barang siapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
·                     Pasal 361 KUHP
·                                                                     Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

Pembuktian Adanya Kewajiban dan Pelanggarannya

Dasar adanya kewajiban dokter adalah hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional (diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur profesional) bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban- kewajiban tersebut merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima pelayanan. (untuk mencapai safety yang optimum).

Dalam kaitannya dengan kelalaian medik, kewajiban tersebut berkaitan dengan kewajiban tenaga medis tertentu, atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.

Untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harus memiliki kompetensi yang rata-rata (reasonable competence) dalam populasi dokter, juga kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa dibidang kesehatan dalam bentuk ijin praktek. Kewenangan formil diperoleh dengan memiliki ijin praktek dan dalam melaksanakan kewenangannnya dapat melakukan tindakan medis di suatu sarana kesehatan tersebut, atau bekerja sambil belajar di institusi pendidikan spesialisasi dibawah supervisi pendidiknya.

Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai standar. Standar berperilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI. Dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu dokter diberi rambu-rambu sebagaimana diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut. Untuk menilai kewajiban dalam bentuk standar pelayanan minimum (SPM), harus ditentukan kualifikasi si pemberi layanan, syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), juga kadang-kadang melukiskan apa yang harus dilakukan atau disediakan (das sollen) yang keduanya harus diinterpretasikan secara hati-hati.

Demikan pula standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang “normal” banyak hal yang harus diperhitungkan seperti keadaan umum pasien dan faktor-faktor lain yang memberatkan adakah situasi kedaruratan tertentu, keterbatasan sarana dan atau kompetensi institusi, waktu dan lain-lain.

Pembelaan Adanya Penyimpangan Kewajiban
Pembelaan dengan mengatakan tidak adanya kewajiban pada pihak dokter hampir tidak mungkin dilakukan, oleh karena umumnya hubungan professional antara dokter dengan pasien telah terbentuk. Pada awalnya tentu saja dibuktikan terlebih dahulu adanya kompetensi dan kewenangan medik pada dokter pada peristiwa tersebut, demikian pula kompetensi dan kewenangan institusi kesehatan tempat terjadinya peristiwa.
Pembelaan harus dapat menunjukkan bahwa tidak ada penyimpangan standar profesi dan atau standar prosedur operasional, atau kalaupun ada penyimpangan dapat dibuktikan bahwa penyimpangan tersebut masih dapat dibenarkan atau dimaafkan karena adanya faktor-faktor pembenar dan pemaaf (keterbatasan sumber daya, pendeknya waktu atau tingkat keparahan dan sifat perjalanan penyakit pasien).
Pembuktian Kerugian dan Hubungan Kausalnya
Pada prinsipnya suatu kerugian adalah sejumlah uang tertentu yang harus diterima oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya sengketa medik, tetapi hal ini sukar dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian seseorang. Kerugian itu harus dihitung agar tercapai jumlah yang layak (reasonable atau fair).
a. Kerugian atau damages dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
·                     Kerugian immaterial (general damages, non pecuniary losses).
·                     Kerugian material (special damages, pecuniary losses).
·                                                                     Kerugian akibat kehilangan kesempatan.
·                                                                     Kerugian nyata:
1.                                           Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan.
2.                                           Biaya yang akan dikeluarkan sesudah penggugatan.

b. Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
·                         Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi (compensation for injuries).
·                        Kompensasi untuk pengeluaran tambahan (compensation for additional expences, real cost).
·                        Kompensasi untuk kerugian  lain yang foreseeable (compensation for other foreseeable loss).

Kerugian yang Dapat Digugatkan
Tidak semua kerugian yang dialami pasien adalah akibat dari kesalahan pemberi layanan. Kerugian dapat saja timbul sebagai akibat dari perjalanan penyakit, atau dapat juga disebabkan oleh resiko atau komplikasi tindakan medik tersebut (untoward result atau medical mishap) yang tak dapat dihindari namun bukan karena kelalain. Pada kedua keadaan tersebut dokter tidak dapat dimintai tanggung jawabnya untuk mengganti rugi.
Kerugian yang dapat digugatkan ganti ruginya adalah kerugian yang disebabkan oleh kelalaian medik, yang terdiri dari jenis-jenis kerugian sebagaimana di atas. Kerugian yang tergolong “remote” sebagai akibat dari kelalaian medik tidak dapat dimintakan ganti ruginya. Sedangkan jumlah kerugian yang dapat digugat ditentukan oleh hakim dengan mempertimbankan pasal 1370 dan 1371 KUH Perdata.